Seimbangkan Otak dengan Hati
Kunci kesuksesan adalah mampu menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
eski tak dapat menikmati liburan akhir pekan karena harus ikut pelatihan selama tiga hari, Qurrata Ayuni, 23 tahun, merasa pengorbanan itu terbayarkan. Pelatihan kecerdasan emosional (emotional quotient) yang diperintahkan oleh atasannya itu benar-benar bermanfaat.
Ayu-begitu peneliti di Mahkamah Konstitusi itu kerap disapa- mengaku pelatihan tersebut mengubah dirinya. Setelah mengikuti pelatihan itu, sikapnya terhadap orang lain menjadi lebih baik, lebih berperasaan (empati), dan berpikir positif. "Pelatihan ini membantu saya berefleksi," kata pegawai negeri sipil ini.Bagi Ayu, kecerdasan intelektual (intelligence quotient) bukan satu-satunya faktor dalam penunjang kariernya. Padahal ia terbilang pegawai yang memiliki kecerdasan intelektual tinggi. Maklum, sewaktu mengenyam pendidikan di Fakultas Huktim-Universitas Indonesia enam tahun lalu, Ayu adalah mahasiswa berprestasi.
"Kepribadian seseorang juga sangat penting," ujar Ayu. Apalagi di tempatnya bekerja sekarang, dia kerap menghadapi sengketa antarpihak. Seperti sengketa jumlah suara dalam pemilihan Umum lalu, pemilihan kepala daerah, dan kasus pengujian undang-undang yang beririsan dengan politik.Sebagai peneliti, Ayu dituntut tidak sekadar menguasai ilmu hukum. "Menghadapi mereka yang berkasus harus memiliki sikap yang tepat dan bijaksana," katanya.
Tak mengherankan kalau Daniel Goleman, penulis buku Emotional Intelligence (1994), beranggapan bahwa kecerdasan emosional (EQ) lebih dominan dalam menentukan keberhasilan seseorang, yakni 80 persen. Sedangkan kecerdasan intelektual (IQ) hanya berkontribusi 20 persen.Kecerdasan intelektual, menurut Goleman, hanya mengangkat fungsi pikiran, sedangkan EQ mengangkat fungsi perasaan. "Tapi pendapat Goleman ini dibantah oleh Diding Supendi dari Lembaga Konsultasi Psikologi Psychodiarra.
Menurut Diding, pendapat itu tidak sepenuhnya benar."Tidak bisa parsial begitu saja," katanya. Kesuksesan seseorang ditentukan oleh keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosional. Keduanya, Diding menambahkan, merupakan satu sistem.Kecerdasan emosi bersumber dalam otak kanan seseorang, sedangkan otak kirinya merupakan sumber kecerdasan intelektual. Kesuksesan seseorang, kata Diding, ditentukan oleh otak kecil, yang memiliki saluran menusuk ke hati. "Di hati inilah keseimbangan diatur," ujarnya.
Berdasarkan pelatihannya, Ayu menemukan bahwa orang yang ber-EQ tinggi berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya, yaitu antara otak danhati. Orang, kata dia, dapat mengusahakan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.Menurut Diding, melatih kecerdasan emosi dapat dilakukan melalui beberapa metode, salah satunya dengan pernapasan. Bisa dengan yoga atau bela diri pemapasan. Tujuannya adalah menumbuhkan energi positif, yaitu senantiasa mengarahkan kekurangan diri ke ha) positif, misalkan percaya diri dan berpikir positif.
Kecerdasan emosi seseorang juga dipengaruhi oleh faktor eksternal. Bisa keluarga atau masyarakat. Menurut Iswatul Khoiriyah dari Icon Work Human Resources and Management Consultant, berbeda dengan kecerdasan intelektual yang dibentuk sejak lahir, kecerdasan emosi banyak dibentuk saat tumbuh dewasa-kecuali faktor temperamen, yang dibentuk sejak lahir.Seseorang yang merasa memiliki kecerdasan emosi rendah bisa melatihnya secara mandiri. "Tapi tetap tidak bisa instan," ujar Iswatul. Kecerdasan emosi dapat dirangsang melalui beberapa pelatihan, seperti pelatihan kompetensi diri dan soft skill.Seseorang memiliki kemampuan emosi jika mumpuni dalam hal kepemimpinan, negosiasi, dan komunikasi.